Kantor
Saya Baik, Saya yang Kurang Pintar
Saya pernah bekerja di sebuah
perusahaan dengan gaji Rp. 1,750,000,- perbulan. Buat seseorang yang baru
pertama kali bekerja, ya itu angka yang sesuatu banget kali ya. Dan waktu itu
saya juga tidak ambil pusing dengan jumlah itu, yang penting saya bekerja dan
gajian. Tapi belakangan, saya coba melihat-lihat lagi surat kontrak kerja saya
dengan perusahaan itu, dan ternyata gaji saya itu ada perinciannya lagi :
1. Gaji Pokok : Rp. 1,000,000,-
2. Tunjangan Transport : Rp. 500,000,-
3. Tunjangan Kesehatan : Rp. 250,000,-
Kalaupun saya sudah membaca
perincian ini waktu dulu, saya pun juga tidak perdulikan perincian itu. Mungkin
ada beberapa dari kita yang bekerja di tempat yang memberikan gaji dengan
komposisi seperti yang saya alami di atas, bukan hal yang aneh. Yang aneh dan
lucu adalah : Saya menganggap komponen nomor 3 (tunjangan kesehatan) sebagai
gaji. Layakya gaji, saya bisa saja habiskan untuk beli barang konsumsi, atau
sekedar saya taruh di bank, dan mungkin bisa saja saya pakai untuk hang-out
bersama teman-teman di mall atau bioskop.
Lho kok lucu?
Ya…itu karena saya tidak mau disebut
bodoh. Hehehe… Betapa tidak? Orang pintar mana yang menganggap tunjangan
kesehatannya sebagai gaji dan justru menggunakannya untuk konsumsi. Baru saya
sadari bahwa perusahaan saya itu sangat luar biasa, mereka ingin membuat saya
‘berpikir’. Ya, berpikir untuk menemukan cara bagaimana membuat tunjangan
kesehatan senilai Rp. 250,000 perbulan itu menjadi berarti. Sekarang coba
pikirkan, kalau saya sakit, Rp. 250,000 itu cukup untuk konsultasi dokter dan
mendapatkan obat, jadi saya masih boleh sakit sebulan sekali.
Itu kalau rawat jalan, bagaimana
kalau rawat inap?
Niscaya Rp. 250,000 hanya cukup
untuk mendapatkan sebuah kamar rawat kelas 3 yang berisi 2 – 4 tempat tidur
pasien. Jadi, darimana saya harus bayarkan biaya kunjungan dokter dan biaya
obat, infus dan semua alat pendukungnya? Jadi apa yang harus saya lakukan
dengan uang yang sedikit itu? Hmm…itu belum bisa saya temukan jawabannya dulu,
tapi saat ini saya boleh berikan jawabannya untuk Anda yang punya masalah
serupa dengan saya waktu itu : “Belilah asuransi kesehatan!”
Lihatlah apa yang bisa saya dapatkan
dengan Rp. 250,000 itu ketika saya berusia 25 tahun dulu
1. Biaya Kamar Rawat 500 ribu sehari ;
2. Operasi sampai Rp. 150 juta setahun ;
3. Obat-obatan hampir Rp. 10 juta , dan ;
4. Rawat jalan Rp. 4.5 juta.
Saya bergumam , “Tapi kalau saya
sehat-sehat saja , saya kehilangan Rp. 250,000 perbulan itu dong? Rugi dong
saya…”
Hmm, tapi setelah saya berpikir
sedikit lebih dalam : kalau saya sehat-sehat saja artinya ‘kerugian’ maksimal
saya adalah Rp. 3 juta bukan? Jadi saya tinggal berusaha sedikit lebih untuk
mendapatkan penghasilan tambahan Rp. 3 juta setahun, bisa dengan lembur atau
jualan baju. Lagipula karena asuransinya syariah, kalau saya sehat-sehat saya,
artinya premi saya justru untuk bersedekah ke nasabah lain yang sakit. Jadi
kalau mau bawa-bawa sakit hati, saya tidak sakit-sakit amat karena saya tahu,
bahwa ada orang yang memanfaatkan premi yang saya bayarkan.
Nah, Kalau saya tetap simpan Rp.
250,000 di rekening bank untuk jajan, maka saya justru menghadapi kemungkinan
biaya tak terhingga kalau saya ditakdirkan Tuhan untuk sakit, mungkin Rp.
250,000 x 12 bulan = Rp. 3 juta tidak cukup untuk sekali rawat inap.
Kalau gitu, saya akan sumbangkan
saja, Sedekah itu obat segala penyakit dan penolak bencana
Saya meyakini mutlak pernyataan
tersebut, karena janji Tuhan ada di dalamnya. Tapi saya juga meyakini ada
hal-hal yang menjadi ranah ikhtiar kita. Saya memikirkan kejadian-kejadian
sederhana seperti ini untuk menjadi bahan diskusi para pembaca sekalian :
Karena sudah bersedekah, apakah kita
bisa dengan tenang membiarkan pintu pagar kita terbuka ketika kita tidur?
Karena sudah bersedekah, apakah
artinya kita boleh menyeberang jalan tanpa melihat kanan kiri untuk memastikan
jalan yang akan kita seberangi kosong?
Karena sudah bersedekah, apakah kita
bebas untuk makan apa saja karena mengharap sedekah kita akan menolak
sakit?Jadi, di antara sedekah dan ikhtiar itu perlu menggunakan kata ‘dan’ ,
bukan ‘atau’.
Kita bersedekah sebelum perjalanan
jauh mengharapkan perlindungan-Nya, dan kita juga berikhtiar melindungi
diri kita dengan menggunakan sabuk pengaman. Kalau ternyata sudah memproteksi
diri sedemikian rupa dan tetap saja tertimpa musibah, maka kita pasrahkan semua
pada Tuhan.
Dan kembali ke kantor….
Ternyata perusahaan saya ingin saya
berpikir : “Apa yang bisa saya lakukan dengan Rp. 250rb untuk mendapatkan
santunan kesehatan diri kita sendiri.